Palabuhanratu, SF, Tidak ada seorang anakpun yang menginginkan ayahnya memiliki profesi sebagai penjaga kebun. Tetapi, garis hidup adalah suratan sang Penguasa alam semesta yang tak dapat ditentang siapapun. Namun, garis hidup itu pula yang membawa Raples anak si penjaga kebun memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.Kesempatan Raples untuk mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi diperoleh berkat kepedulian salah seorang tokoh Sukabumi Forum (SF), M. Sudirman yang tergerak hatinya serta ketulusan untuk menyekolahkan anak penjaga kebunnya yang bernama Baed.
Menurut Sudirman, ada dua hal yang menjadi alasan dari sikapnya ini, pertama karena Raples memiliki sifat rajin membantu pekerjaan orang tua dengan prestasi belajar yang sangat baik, Sedangkan alasan yang kedua karena ia anak dari salah satu bagian dari keluarga saya. Sudah tiga tahun ini Baed menjadi bagian dari keluarga yang mengurus rumah kecil dan kebun di Pasir Bendera,” ujarnya.
Sudirman yang akrab dipanggil kang Dirman juga mengungkapkan, untuk menyekolahkan Raples dipilihnya lembaga pendidikan berlabel Tsanawiyah. Hal ini merupakan satu pertimbangan matang. Dengan bersekolah di Tsanawiyah, Ia ingin agar generasi penerus niemiliki bekal agama yang lebih kuat ketimbang bekal ilmu keduniawian. “Pembinaan akhlak generasi muda jauh lebih penting agar budaya korup tidak diwariskan kepada generasi penerus bangsa.,” katanya pula.
Kabupaten Sukabumi-SF. Sebagai abdi negara, Sudirman mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap soal-soal pemberdayaan masyarakat. Untuk Kabupaten Sukabumi sendiri, Ia mencatat sistem ekonomi berbasis kerakyatan adalah sebuah pilihan tepat. Hal itu didasari pertimbangan hahwa sebagian besar pekerjaan penduduk Kabupaten Sukabumi adalah bertani.
Bagi pria yang mendapat gelar Magister Manajemen dari Unsurya Halim Perdana Kusumah, Jakarta, Jurusan Sumber Daya Manusia Internasional tu, sektor pertanian menjadi titik sentral yang harus digarap dan diberdayakan secara sungguh-sungguh. Jika pertanian berhasil ditingkatkan, maka ia berkeyakinan, sektor lain akan ikut menyusul. “Semua harus berawal dari pertanian,” jelasnya,
Langkah pertarna yang harus dilakukan agar sektor pertanian berdaya guna dan unggul adalah dengan membangun saluran irigasi yang baik. Pembangunan irigasi menjadi modal utama agar hasil sawah petani dapat melimpah ruah.
Sayangnya, kenyataan itu belum dirasakan benar para petani. Saluran irigasi masih belum dibangun dengan baik oleh pemerintah daerah. Akibatnya, sawah tidak mencapai hasil yang direncanakan.
Kurangnya perhatian yang ditunjukkan pemerintah terhadap peningkatan sektor pertanian, berdampak pada tidak popuIernya pekerjaan petani. Sehingga banyak anak-anak muda yang tidak tergiur antuk menjadi petani. “Yang menyedihkan adalah banyak tanah pertanian yang justru dijual karena kurang menguntungkan,” katanya.
Ke depan, ia berharap, pertanian mendapat porsi perhatian yang besar dari pemerintah dan semua kalangan. Melalui sistem pertanian yang tertata dengan baik, maka kesejahteraan masyarakat bukan lagi sekedar omong kosong belaka.
Kabupaten Sukabumi-SF. Bagi Sudirman, pembangunan Kabupaten Sukahumi agar lehih baik dan bermartabat tak cukup dengan modal yang besar dan orang-orang pintar. Tapi yang lebih penting adalah menerapkan ajaran agama secara utuh dan menyeluruh. Tanpa kematangan moral seperti itu, maka pembangunan tidak akan mencapai tujuan sejatinya, yaitu mensejahterakan rakyat.Karena itu, suami Enung Komariah ini, berpendapat jika Kabupaten Sukabumi ingin makmur, maka segala jenis narkoba, perjudian, prostitusi dan minuman yang memabukkan, haruslah dijauhi. “Siapa pun jangan ada kata kompromi untuk segala jenis perbuatan yang diharamkan agama itu,” tegasnya.
Kabupaten Sukabumi-SF. Solidaritas yang dilakukan tokoh Sukabumi Forum, Kang Dirman untuk menyantuni masyarakat kurang mampu ternyata tidak main-main. Buktinya beberapa hari lalu, Senin (22/06), disela-sela kesibukannya sebagai pejabat PNS, Ia tetap menyempatkan diri menjenguk salah seorang warga Kp. Cibatu Cisaat RT. 12/03 Desa Cibatu Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi bernama Minah (70) yang sedang sakit dan tidak mampu untuk berobat.
Dengan ditemani ketua RT dan RW setempat kang Dirman mengunjungi Ibu Minah yang tengah berbaring lemas merasakan penyakit yang telah dua bulan lebih dideritanya. Dalam kesempatan itu kang Dirman memberikan pertolongan untuk biaya-biaya pengobatan.” Mudah-mudahan apa yang saya lakukan dapat bermanfaat bagi Bu Minah,” ujarnya.
Sementara, Ketua RT Supandi, yang kerap dipanggil Upan merasa bangga dan senang ketika ada seorang tokoh yang mau peduli terhadap warga masyarakat yang membutuhkan pertolongan dan kepedulian orang lain seperti ibu Minah. Dan hal senadapun juga diungkapkan ketua RW setempat, Dasep Nugraha (Abang). “Tokoh dari kalangan lain baik pejabat pemerintahan mulai dari tingkat desa sampai birokrat, organisasi masa dan organisasi politik belum pernah memperlihatkan kepedulian seperti tokoh yang satu ini,” katanya.
Selain bersilaturahmi kepada Minah, tokoh Sukabumi Forum ini juga mengunjungi M. Odja salah seorang tokoh/sesepuh di kampung Cibatu, sekaligus sebagai sesepuh Yayasan Mujahidin.
Di akhir kegiatan silaturahmi, pada malam harinya kang Dirman menyempatkan hadir untuk mengikuti pengajian rutinan yang biasa dilaksanakan oleh Pemuda Mujahidin Cibatu. Hadir dalam kesempatan itu Dadang Rusnandar selaku wakil sesepuh pengajian. Dadang berpesan agar kegiatan silaturahmi tersebut terus digalakkan serta harus bisa membawa perubahan kepada masyarakat dari keterpurukan sosial, politik dan ekonomi seperti sekarang ini.
Oleh: Kang Dirman (Tokoh Sukabumi)
Upaya untuk mencerdaskan bangsa jelas bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah. Undang-undang yang menjadi payung hukum penyelenggaraan pendidikan sangat gamblang memberi ruang gerak bagi kontribusi masyarakat terhadap proses kegiatan belajar mengajar khususnya bagi sekolah formal.
Sayangnya, ruang gerak partisipasi masyarakat yang diberikan oleh undang-undang dalam penyelenggaraan proses pendidikan sering menjadi alat legimitasi bagi terjadinya komersialisasi dunia pendidikan. Dengan dalih partisipasi orang tua warga belajar, berbagai pungutan di dunia pendidikan seakan menjadi sebuah kelaziman yang dianggap halal.
Lihat saja contoh berbagai pungutan saat penerimaan siswa baru di tingkat SMP den SMA. Meski sarana fisik berupa ruang kelas dan mebelair teleh disediakan pemerintah, berbagai pungutan untuk POS ini masih saja menjadi pemandangan umum khususnya untuk tingkat SMP dan SMA. Alasan untuk uang pembangunan gedung bagi sekolah negeri sungguh menjadi alasan yang amat tidak rasional.
Dagi sekolah-sekolah swasta, tentu ini bukan persoalan yang harus menjadi sorotan publik. Tetapi, untuk SMP dan SMA negeri, sungguh menjadi sebuah ironi. Sekolah negeri yang pada hakekatnya adalah kepanjangan tangan negara dalam program mencerdaskan bangsa, telah ditunggangi oleh suatu kepentingan yang bernama komersialisasi.
Memang, sarana untuk meningkatkan kualiltas sekolah adalah sesuatu yang amat mahal. Apalagi jika standar penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar menggunakan stander nasional atau internasional. Tetapi, sungguh sangat tidak fair ketika penyediaan sarana untuk mengejar standar nasional dan internasional dibebankan kepada orang tua murid yang menyekolahkan anaknya di sekolah itu.
Yang menyedihkan adalah ketika sekolah-sekolah negeri berlomba untuk mengejar label standar nasional dan internasional. Penyediaan sarana untuk mengejar standar ini selalu berujung pada beban lebih besar yang harus ditanggung orang tua. Dalam kondisi anggaran negara yang amat terbatas, label sekolah berstandar nasional dan internasional jelas bermuara pada eksploitasi terhadap orang tua. Dengan kata lain, label berstander nasional dan internasional adalah legimitasi untuk menjadikan sekolah negeri sebagai industri kapitalis.
Oleh : Kang Dirman (Tokoh Sukabumi)
Tak dapat tidak, mendengar kata kota yang ramah akan dimaknai sebagai kota dimana penduduknya memiliki sifat yang peduli dan bersahabat. Tentu, hal itu adalah benar adanya. Kata ramah dan bersahabat semakin terasa penuh makna ketika sebuah kota seperti Pelabuanratu mengaku sebagai kota tujuan wisata. Ramah dan bersahabat seakan menjadi sebuah simbol dan pelayanan prima berbagai jasa pariwisata.
Ramah dan bersahabat memang simbol dari sebuah kepribadian yang menyenangkan bagi orang lain. Katanya, kedua kata tadi adalah warisan turun temurun dari sikap dan perilaku para leluhur. Pertanyaan besarnya adalah, adakah warisan sikap mental dan kepribadian yang menyenangkan bagi orang lain itu masih tetap lestari hingga kini?.
Sebagai kota tujuan wisata, ramah dan bersahabat jelas merupakan nilai tambah dari berbagai pesona objek pariwisata yang ada. Tetapi, harus diakui jika warisan sikap mental kepribadian itu mulai terkikis habis oleh budaya individualis yang makin kental. Coba saja rasakan bagaimana tidak ramahnya harga-harga konsumsi di tempat-tempat pariwisata. Sikap mental aji mumpung jelas mendominasi para pelaku usaha skala kecil dibidang jasa pariwisata. Nyaris tidak ada kesadaran mereka untuk menjadikan “harga yang ramah” sebagai keunggulan komparatif yang membuat wisatawan asing ataupun domestik betah tinggal berlama-lama. Padahal, dengan cara itulah rupiah mengalir deras menghidupi puluhan ribu orang di kota yang mengaku sebagai kota tujuan wisata.
Yang lebih menyedihkan adalah membuat kota yang ramah dan bersahabat sama sekali tidak pernah menjadi orientasi dalam kebijakan publik. Sarana dan pelayanan publik masih sangat jauh dari esensi kota yang ramah dan bersahabat. Coba saja tengok kaki lima yang dipadati pedagang, atau kaki lima yang sangat tidak bersahabat dengan orang jompo dan penyandang cacat.




