Oleh : Kang Dirman (Tokoh Sukabumi)
Tak dapat tidak, mendengar kata kota yang ramah akan dimaknai sebagai kota dimana penduduknya memiliki sifat yang peduli dan bersahabat. Tentu, hal itu adalah benar adanya. Kata ramah dan bersahabat semakin terasa penuh makna ketika sebuah kota seperti Pelabuanratu mengaku sebagai kota tujuan wisata. Ramah dan bersahabat seakan menjadi sebuah simbol dan pelayanan prima berbagai jasa pariwisata.
Ramah dan bersahabat memang simbol dari sebuah kepribadian yang menyenangkan bagi orang lain. Katanya, kedua kata tadi adalah warisan turun temurun dari sikap dan perilaku para leluhur. Pertanyaan besarnya adalah, adakah warisan sikap mental dan kepribadian yang menyenangkan bagi orang lain itu masih tetap lestari hingga kini?.
Sebagai kota tujuan wisata, ramah dan bersahabat jelas merupakan nilai tambah dari berbagai pesona objek pariwisata yang ada. Tetapi, harus diakui jika warisan sikap mental kepribadian itu mulai terkikis habis oleh budaya individualis yang makin kental. Coba saja rasakan bagaimana tidak ramahnya harga-harga konsumsi di tempat-tempat pariwisata. Sikap mental aji mumpung jelas mendominasi para pelaku usaha skala kecil dibidang jasa pariwisata. Nyaris tidak ada kesadaran mereka untuk menjadikan “harga yang ramah” sebagai keunggulan komparatif yang membuat wisatawan asing ataupun domestik betah tinggal berlama-lama. Padahal, dengan cara itulah rupiah mengalir deras menghidupi puluhan ribu orang di kota yang mengaku sebagai kota tujuan wisata.
Yang lebih menyedihkan adalah membuat kota yang ramah dan bersahabat sama sekali tidak pernah menjadi orientasi dalam kebijakan publik. Sarana dan pelayanan publik masih sangat jauh dari esensi kota yang ramah dan bersahabat. Coba saja tengok kaki lima yang dipadati pedagang, atau kaki lima yang sangat tidak bersahabat dengan orang jompo dan penyandang cacat.




0 Responses to Kota yang Ramah